Senin, 15 Desember 2014

Sepatah Janji Chen Fu



Cerita Budi Pekerti

Sepatah Janji Chen Fu

Pada masa Dinasti Han, ada seorang wanita yang bermarga Chen (selanjutnya disebut Chen Fu), merupakan penduduk Kabupaten Huaiyang, Henan. Orangnya bijak, saat dia berusia 16 tahun, dia menikah dengan seorang pria yang merupakan putra berbakti, keluarganya miskin dan masih memiliki seorang ibunda. Chen Fu dan suaminya saling mengasihi dan menghormati, mereka bersama-sama berbakti pada ibunda, kehidupan keluarga mereka senantiasa diliputi kehangatan dan kegembiraan.

Namun tidak lama kemudian setelah pernikahan mereka, sebelum mereka dikaruniai buah hati, suaminya telah dipanggil untuk menjalani kewajiban militer. Sehari sebelum kepergiannya, sang suami amat mengkhawatirkan hari tua ibundanya, maka itu dia berpesan pada istrinya : “Hari ini saya harus menjalani kewajiban militer, mati atau hidup sulit diterka. Sejak kecil untunglah ada bunda yang mendidik dan membesarkan diriku, tetapi bunda hanya memiliki anak tunggal yakni diriku, tiada lagi abang ataupun adik yang dapat dijadikan sandaran. Andaikata saya tidak memiliki kesempatan untuk pulang kembali, apakah anda bersedia menjaga ibunda?”

Melihat wajah suaminya yang penuh mengharap dan sepasang matanya yang tidak tenteram, Chen Fu langsung menyetujuinya : “Baik!”, tanpa ragu menunjukkan ketetapan hatinya. Mendengar ucapan istrinya, sang suami menjadi amat terharu hingga mengalirkan airmata, segera menggenggam erat sepasang tangan istrinya.

Dengan adanya sang istri yang bersedia menjaga ibunda, telah melepaskan batu berat yang mengganjal di hati suaminya, sehingga sang suami dapat dengan hati yang tenang pergi menunaikan kewajiban militer. Sejak itu Chen Fu mengerahkan segenap kemampuan untuk meladeni mertuanya, sambil berharap semoga suaminya cepat pulang berkumpul kembali dengan keluarga.

Namun nasib manusia sulit diterka, Chen Fu yang siang malam menanti kepulangan sang suami akhirnya harus menerima kenyataan pahit, suaminya telah meninggal dunia. Mendengar kabar ini, betapa pedihnya hati Chen Fu dan mertuanya, ibunda telah kehilangan putra satu-satunya, sementara Chen Fu yang baru menikah harus kehilangan suaminya, dalam waktu singkat, keadaan keluarga bagaikan diselimuti awan duka yang kelam, sehingga setiap insan yang melihat kondisi ini akan menjadi sangat prihatin.

Meskipun hatinya pedih bagaikan tersayat pisau tajam, namun dia tidak pernah menyalahkan siapapun, dia tetap teringat pesan sang suami sebelum pergi buat selama-lamanya, apa yang telah dia janjikan pada suaminya, yakni menjaga mertuanya. Maka itu dia tidak boleh terlena dalam kesedihan, bagaimanapun dia harus berusaha bangkit karena masih ada seorang mertua yang harus dijaganya, selain itu dia harus mengurus rumah, dengan menenun dia memperoleh sedikit uang untuk menghidupi mertua. Siang malam Chen Fu membanting tulang, sama sekali tidak memiliki waktu untuk beristirahat, berharap agar kehidupan sang mertua akan lebih baik.

Bersamaan itu pula, sang mertua juga sangat menyayangi menantunya. Ketika melihat kenyataan bahwa putra satu-satunya telah meninggal dunia, kemudian menantunya lebih mencurahkan perhatian terhadap dirinya, mengkhawatirkan bila dirinya terlalu bersedih sehingga merusak kesehatannya, sang menantu yang senantiasa menjadi pelipur lara, memenuhi setiap keperluannya dengan baik. Sang mertua dapat merasakan hati bakti menantunya, maka itu meskipun telah kehilangan putranya, namun hatinya juga dapat merasa tenteram. Dia telah menganggap Chen Fu sebagai putri kandungnya, menjaga serta memberi perhatian padanya.  

Chen Fu menjalani masa perkabungan selama tiga tahun untuk suaminya, ketika masa perkabungan usai, mertuanya merasa prihatin melihat menantunya yang masih muda sudah harus menjanda, hatinya begitu tak ikhlas, maka itu dia menasehati menantunya supaya menikah lagi.

Tetapi Chen Fu malah menolaknya : “Ananda pernah mendengar bahwa dasar untuk menjadi manusia seutuhnya adalah dapat dipercaya, kebenaran sebagai aturan dalam bertindak. Sebelum berangkat menunaikan kewajiban militer, suamiku pernah berpesan agar saya dapat menjaga mertua hingga akhir hayatku, saya telah berjanji pada suamiku. Apalagi anda merupakan sanak keluargaku yang paling dekat, bagaimana boleh saya mengingkari janji dan mengabaikan kebenaran? Tidak mewujudkan pesan suami adalah mengingkari janji, mengkhianati suami adalah mengingkari kebenaran.

Ucapan Chen Fu mengakibatkan mertuanya merasa sangat terharu, menarik dan menggenggam erat tangannya sambil berkata : “Bunda benar-benar tak ikhlas kamu masih muda harus menjanda!”.

Sambil berlinangan airmata Chen Fu menjawab : “Ananda mengerti, namun sebagai manusia lebih baik mati demi membela kebenaran, namun tidak boleh hidup demi mendambakan keuntungan. Saya telah berjanji pada suamiku, mana boleh mengingkarinya dan menjadi orang yang tak bisa dipercaya, jika menjadi orang yang tidak bisa dipercaya, bagaimana bisa berdiri di atas muka bumi ini. Sebagai seorang menantu, menjaga mertua merupakan kewajiban dasarku, suamiku sungguh tak beruntung karena tidak berkesempatan lagi memenuhi tanggung jawabnya untuk berbakti, andaikata kini anda juga ingin mengusirku pergi, maka tidak ada yang dapat menjaga ibunda, maka ini telah mencerminkan diriku dan suamiku tidak berbakti, andaikata sebagai menantu, daku tidak berbakti, tidak bisa dipercaya, juga tidak benar, maka bukankah saya tidak memiliki muka lagi hidup di atas muka bumi ini?”.

Kemudian Chen Fu berniat bunuh diri, mertuanya melihat dirinya begitu teguh pendiriannya, maka dia menangis tersedu-sedu, sejak itu tidak berani mengungkit lagi tentang pernikahan.

Sejak itu Chen Fu lebih mencurahkan perhatian menjaga dan merawat mertuanya, bangun pagi dan tidur larut malam, siang malam tak pernah berhenti bekerja, kehidupan sedemikian dia jalani selama 28 tahun, hingga mertuanya meninggal dunia dalam usia 84 tahun.

Ketika mertuanya meninggal dunia, oleh karena keadaan rumah yang miskin, untuk mencari biaya pemakaman, Chen Fu terpaksa menjual rumah dan ladangnya, sehingga dapat memakamkan mertuanya dengan layak. Sementara dirinya juga menyembahyangi mertuanya hingga akhir hayatnya, memenuhi janjinya pada sang suami, juga memenuhi kewajibannya sebagai seorang menantu.

Ketika Bupati Huaiyang mengetahui hal ini, merasa amat terharu, lalu menulis laporan untuk disampaikan kepada Kaisar Han Wen-di, kaisar yang tersohor karena baktinya. Kaisar yang mengetahui bahwa Chen Fu memegang janjinya pada suaminya dan baktinya pada mertuanya, juga amat memujinya, sehingga menitahkan untuk menganugerahkan 20 kilogram emas sebagai penghargaan atas sikapnya yang dapat memegang janji dan baktinya.

Li Kun memberi komentar pada kisah ini, dia berkata, Chen Fu yang baru berusia 16 tahun, hanya mengucapkan sepatah janji akhirnya harus memenuhinya sepanjang hayatnya. Dia dapat memegang janjinya, meskipun harus menjalani hidup menderita, namun hatinya tetap teguh. Andaikata tidak ada Chen Fu, mungkin mertuanya sejak awal sulit untuk bertahan hidup.

Chen Fu yang telah memenuhi janjinya, menjaga dan merawat mertuanya, meskipun harus mati juga takkan mengingkari janji, patut kita puji dan salut padanya!      




陳婦一諾

漢朝時,有一位陳孝婦,是淮陽地方人,品行賢淑,在她十六歲時,便聽從父母之命出嫁了。

陳孝婦的丈夫,是一位孝順之人,家境貧寒,與母親相依為命,卻對母親十分孝敬。當陳孝婦嫁來後,夫婦二人不僅能恩愛互敬,還共同孝養母親,生活充滿了溫暖與和樂。

只是,婚後不多久,未等陳孝婦生育子女,丈夫便要應徵去從軍了。在臨行的前一天,丈夫不禁擔懮母親的晚年,於是對妻子嘆息說:「如今我要從軍去了,生死難料。自小,幸有母親把我養育長大,可母親只有我這一個兒子,沒有其他兄弟可以依靠。假若我回不來,你肯奉養我的母親嗎?」

陳孝婦看著丈夫那期盼卻又不安的眼神,馬上應諾一聲:「好!」沒有絲毫猶豫,神情堅定。丈夫聽後十分感動,不由流下眼淚,緊握妻子堅定的雙手。

母親有了妻子的照顧,丈夫心上的石頭也算落了地,便安心從軍去了。從此,陳孝婦盡心奉侍著婆婆,另一方面,也期盼著丈夫能早日回來,希望一家人可以再次團聚。

然而,天有不測風雲,陳孝婦盼著丈夫回來,卻得到了丈夫在外去世的消息。聽到這個消息時,婆婆與陳孝婦都不免悲痛萬分,母親失去了唯一的愛子,妻子失去了新婚不久的丈夫,一時間,整個家就像被烏雲籠罩了一樣,灰蒙蒙的,不由得都失聲痛哭起來,看了也不免令人心酸。

但陳孝婦悲痛之後,並沒有倒下,也沒有怨天尤人,她一直記得丈夫臨行前,對她最後的囑託,要照顧好婆婆。因此,她越加堅強起來,而且比以前更為勤勞,除了照顧婆婆,打理家事外,她還去紡紗織布,用此賺來的錢,奉養婆婆。日夜,陳孝婦都勤苦地勞作,一點兒不懈怠,希望婆婆能生活得好一些。

同時,婆婆也很愛護媳婦,當看到兒子死了以後,媳婦對自己更加體貼照顧,怕自己會傷心難過,還時常撫慰自己,生活也照顧得更為周到。婆婆感到媳婦的一片至誠孝心,因此雖然失去兒子,可心裡也有所安慰。對她,也像對待自己的親生女兒一樣關心照顧。

陳孝婦為丈夫守了三年喪,當喪期滿後,她的婆婆心疼她這麼年輕就要守寡,心中不忍,便想讓她改嫁。然而,陳孝婦卻堅決不肯答應,回答說:「媳婦聽說:信是為人的根本,義是行為的規則。夫君臨行前,諄諄交待媳婦終生照顧婆婆,我必堅定奉守丈夫的囑託。更何況您是我最親的人,我怎可以背信棄義離您而去呢?違背托付是失信,背叛亡夫更是忘義,媳婦怎能這樣做啊?」

陳孝婦的話,令婆婆萬分感動,一時老淚縱橫,拉著她的手激動的說道:「娘實在是不忍心看你這麼年輕就守寡啊!」

陳孝婦也哭著回答道:「媳婦聽說,做人寧可擔負義而死,不可貪戀利而生。答應夫君之事,怎麼可以不守信用,為人無信,怎能立足世間啊?我作為媳婦,奉侍公婆乃分內之事,夫君不幸先死,不得盡他為人子的責任,如今再叫我離開,沒有人奉養婆婆,那便顯明瞭夫君的不肖,也顯出我的不孝了啊,假使媳婦為人不孝不信又無義,那媳婦還有何顏面活在世間哪?」於是,陳孝婦就想自殺,婆婆見她如此堅定,也不由得痛哭起來,從此也不再叫她改嫁了。

而後,陳孝婦更是盡心竭力在家奉侍婆婆,早起晚睡,日日夜夜辛勤不斷,這樣奉侍了有二十八年,一直到老人家八十四歲,壽終正寢。在婆婆去世後,因為家中貧寒,陳孝婦為安葬婆婆,又將房產和田地都變賣了,給婆婆辦好喪事。自己也終身奉守祭祀,完成她對丈夫的承諾,也盡她為人媳的責任。

當淮陽太守得知此事後,非常受感動,便將她的孝行稟報京朝漢孝文帝。孝文帝聽到陳孝婦信守承諾,奉養婆婆的孝行後,也十分贊賞她,便下旨賜給她四十斤的黃金,並免除她終身的徭役,以彰顯她的信義與孝行。

呂坤在故事中評價說到,陳孝婦年僅十六歲,又沒有子息,受了丈夫的囑託奉養婆婆,臨別只一句承諾,她便終身奉守,不失信,又盡職,幾經艱苦,不二其心。如果沒有陳孝婦,恐怕她的婆婆,也難免為溝壑中的一堆枯骨了。

陳孝婦這信守諾言,奉侍婆婆,至死不渝的真誠信念,深值我們稱贊與敬佩!